Review : Brightburn
“Whatever you’ve done, I know there is good inside you.”
Mesti diakui, Brightburn mempunyai premis yang menarik hati selera. Coba bayangkan, bagaimana seandainya Clark Kent – sosok dibalik kostum Superman – yang berasal dari planet lain ternyata mempunyai motif berbeda dikala mendiami bumi? Alih-alih menyelamatkan planet barunya dari cengkraman manusia-manusia lalim, beliau justru membuat huru-hara secara masif dengan mendayagunakan kekuatannya yang luar biasa. Terdengar menjanjikan sekaligus mengerikan di waktu bersamaan, bukan? Gagasan untuk mendeskontruksi hikayat kepahlawanan yang telah kita akrabi selama puluhan tahun ini mencuat dari James Gunn yang kita kenal sebagai sutradara dwilogi Guardians of the Galaxy. Selagi lebih menentukan untuk menduduki bangku produser karena disibukkan oleh proyek besar Marvel Cinematic Universe, James menyerahkan amanat kepada saudara beserta sepupunya, Mark Gunn dan Brian Gunn, guna mengejawantahkan wangsit ini ke dalam bentuk skenario. Sementara untuk mengomandoi proyek, kepercayaan diberikan kepada David Yarovesky yang jejak rekamnya meliputi film menakutkan bertajuk The Hive (2014) beserta beberapa film pendek. Menilik betapa menjanjikannya gagasan yang diusung oleh Brightburn yang memperlihatkan pelintiran terhadap Superman, sukar untuk tidak ingin tau seraya bertanya-tanya, “akankah film benar-benar bisa memenuhi potensi yang dipunyainya atau malah hanya akan memperpanjang daftar kegagalan tontonan yang mengusung high concept?”
Seperti telah kita ketahui bersama, Clark Kent yang masih bayi dikirim ke bumi oleh ayahanda kandungnya demi keselamatan dirinya. Sesampainya di tanah Amerika, Clark ditemukan oleh sepasang suami istri yang tak kunjung dikaruniai momongan dan mereka pun memutuskan untuk membesarkan Clark. Dalam Brightburn, awal mula kisahnya pun bisa dibilang senada. Tori (Elizabeth Banks) beserta suaminya, Kyle (David Denman), mempunyai latar belakang serupa dengan Jonathan maupun Martha. Mereka mempunyai sebuah peternakan dan segala upaya untuk mendapatkan keturunan tak kunjung membuahkan hasil. Di dikala mereka mencoba mendapatkan kenyataan yang ada, Tuhan (atau sesuatu yang lain?) kesudahannya mengabulkan doa mereka selama bertahun-tahun dengan mengirimkan sebuah meteor. Bukan sembarang meteor, sebab ada bayi mungil nan menggemaskan yang tersembunyi di dalamnya. Memperoleh kiriman ibarat ini, Tori dan Kyle terang berbahagia. Keduanya sebisa mungkin membuat lingkungan yang aman bagi putra angkat mereka yang diberi nama Brandon (Jackson A. Dunn) ini. Untuk tahun-tahun pertama, Brandon memang terlihat ibarat bocah kebanyakan yang kebetulan mempunyai otak encer. Tapi sesudah dirinya menginjak usia 12 tahun, perubahan yang lebih signifikan mulai menjangkiti dirinya. Bermula dari “panggilan gaib” yang diterimanya, Brandon tak lagi bersikap elok kepada orang-orang di sekitarnya termasuk orang renta angkatnya. Dia merancang sesuatu yang jahat dan tak segan-segan menghabisi nyawa mereka yang menghalangi langkahnya.
Sebagai tontonan yang berpijak di koridor horor, Brightburn dibekali trik menakut-nakuti yang boleh dikata cukup mumpuni. Yarovesky menguarkan kengerian melalui perpaduan atmosfer mengusik ketenangan batin dengan kesadisan yang levelnya tidaklah main-main. Bagi kau yang ‘alergi’ terhadap darah, bersiaplah untuk menutup mata berulang kali selama menyaksikan film ini sebab warna merah pekat tersebut kerap berpartisipasi dalam memeriahkan adegan teror maupun pembunuhan. Beberapa diantaranya memang sudah ditampakkan lewat materi promosinya, tapi tetap saja, saya masih bisa mendapati sensasi ngeri tatkala menengok bola mata ketujes beling, rahang terjatuh yang diilustrasikan secara harfiah, hingga anggota badan yang terkoyak-koyak. Tubuh ini mendadak bergidik dibuatnya. Ya, untuk urusan memperlihatkan mimpi jelek kepada penontonnya, Brightburn memang layak memperoleh apresiasi. Apabila ekspektasi yang kau tanamkan terhadap film ini semata-mata hanya ingin dibentuk merem segan melek tak mau maupun sesekali terlonjak dari bangku bioskop, Brightburn tak akan mengkhianati pengharapanmu. Namun kalau dirimu melangkahkan kaki ke bioskop karena termakan oleh premisnya yang seksi dan mendamba akan memperoleh sajian yang mindblowing, maka antisipasi munculnya reaksi-reaksi berikut ini: geleng-geleng kepala, mengerucutkan bibir (kalau kata orang Jawa, mecucu), serta menguap-nguap. Sederet reaksi yang sering saya utarakan di banyak sekali titik karena potensi besar yang dimiliki film ternyata disia-siakan begitu saja.
Ketimbang mengelaborasi premis, si pembuat film justru hanya bermain di permukaan. Selama durasi mengalun, Brightburn sebatas berceloteh soal bocah berkekuatan Superman yang bertindak jahat. Udah, gitu aja. Tak ada penggalian terhadap motivasinya, tak ada pula pembagian terstruktur mengenai mengenai masa lalunya, tak ada juga upaya untuk membuat penonton terkoneksi dengan para karakternya. Saya sih tidak terlalu berharap klan Gunn beserta Yarovesky akan memberi penonton penglihatan ke planet asal Brandon mengingat keterbatasan bujet, tapi setidaknya, berikan info terkait masa kecilnya. Apakah kedua orang renta angkatnya benar-benar memperlakukan beliau dengan baik ibarat akreditasi mereka? Dan apakah gelagat Brandon sebagai bocah berhati iblis telah tampak sedari bayi tapi hanya dianggap angin kemudian oleh orang tuanya? Dalam The Omen (1976) yang kentara menjadi salah satu materi rujukan, penonton sudah bisa mendeteksi bahwa Damien tidak seimut kelihatannya sedari mula. Kita paham pula mengapa beliau bisa bertindak sedemikian keji. Sedangkan dalam Brightburn, transformasinya terlampau tiba-tiba yang memunculkan tanya: apakah perubahan ini sebab efek bisikan gaib? Jika ya, darimana asalnya bisikan tersebut? Apakah ‘sekoci’ yang ditungganginya mempunyai kekuatan supranatural? Kalau benar, mengapa muncul obsesi menghancurkan bumi? Menggunakan pikiran positif, saya berasumsi kalau ini yaitu upaya si pembuat film untuk meneguhkan elemen misteri sehingga kita berkeinginan mencari tahu di jilid berikutnya (jika memang dilanjutkan sebagai franchise). Hanya saja, pikiran positif ini tak mampu didayagunakan untuk bersimpati kepada barisan karakternya.
Satu-satunya huruf yang tampak simpatik yaitu Kyle, sementara Brandon terlampau satu dimensi sebagai villain dan Tori acapkali bikin ngedumel akhir penyangkalan-penyangkalannya yang hanya memperburuk situasi. Saya sulit untuk melihat sisi baik dari Brandon yang kobaran api dendamnya begitu meluap-luap hanya sebab satu dua olok-olokan (maksud saya, ini tetap bullying tapi tarafnya belum cukup untuk membuat amarah ala Carrie White) dan saya juga sulit untuk memahami tindakan Tori. Dia menyadari ada sesuatu yang salah dengan putranya, tapi beliau menentukan untuk mengabaikannya hingga semuanya benar-benar terlambat. Gemes nggak sih? Saya memang mengagumi cara Brightburn dalam meneror penontonnya, tapi narasi terlampau sederhana hasil dari premis menakjubkan yang membuat sebagian besar huruf “menderita” ini nyatanya amat mendistraksi. Bukannya geleng-geleng kepala sebab kagum, saya justru geleng-geleng kepala sebab gagal paham begitu lampu bioskop dinyalakan. Saya pun hanya bisa berkata, “Brightburn tak pernah memenuhi potensinya dan hanya memperpanjang daftar kegagalan tontonan yang mengusung high concept” yang sekaligus menjawab pertanyaan di penghujung paragraf pertama. Sayang sekali.
Acceptable (2,5/5)
0 Response to "Review : Brightburn"
Post a Comment