Review : Gemini Man
“I think I know why he’s as good as you. He is you”
Apabila saya berseru, “Gemini Man yakni film laga yang asoy”, rasa-rasanya tidak ada umat insan di muka bumi ini yang akan mempertanyakannya. Maksud saya, Gemini Man mempunyai semua komponen yang diperlukan untuk membuatnya tersaji sebagai sebuah tontonan eskapis yang bakal disukai oleh khalayak ramai. Ada Ang Lee (Crouching Tiger Hidden Dragon, Life of Pi) yang terbukti ulung dalam memberikan dongeng di bangku penyutradaraan, ada Will Smith yang mempunyai karisma berpengaruh baik sebagai bintang laga maupun pemain film serius di jajaran pemain, dan ada pula premis menggelitik perhatian berbunyi: bagaimana seandainya ada dua Will Smith dari masa berbeda yang saling bertarung antara satu dengan yang lain? Jadi, apa sih yang mungkin salah dari film ini? Sepintas lalu, film yang turut diproduseri oleh Jerry Bruckheimer (produser dari Top Gun serta Armageddon) ini memang tampak menjanjikan. Materi promosinya juga memberi kesan bahwa ada banyak gegap gempita dan keriuhan yang sanggup kau jumpai di sepanjang durasi. Saya yang dilingkupi kebahagiaan alasannya sanggup kembali menyaksikan film dalam format 3D sekaligus kepenasaran karena Gemini Man menjajal teknologi anyar dengan divisualisasikan dalam 120 frames per second – umumnya, film diproyeksikan dalam 24 frames per second – pun tak menaruh kecurigaan apapun. Tapi sehabis saya mengenakan kacamata 3D dan film berjalan separuh durasi, saya perlahan mulai menyadari bahwa Gemini Man ternyata lebih cocok disebut sebagai “film yang amsyong” ketimbang “film yang asoy”.
Ditulis naskahnya secara keroyokan oleh tiga kepala, Gemini Man menyodorkan guliran pengisahan yang sanggup dibilang sangat sederhana. Usai melesakkan puluhan peluru ke badan para teroris, pembunuh bayaran binaan pemerintah yang kerap disebut-sebut “terbaik” di bidangnya, Henry Brogan (Will Smith), kesannya tetapkan untuk pensiun dikala usianya mencapai kepala 5. Salah satu alasannya, Henry tak ingin pelurunya tersebut pada kesannya salah sasaran. Dalam misi terakhirnya, beliau nyaris menembak bocah wanita tak bersalah yang berada di bersahabat sang sasaran sampai-sampai pikirannya terus dilingkupi dengan kecemasan, “bagaimana jikalau kemarin saya meleset? Bisa-bisa si bocah tewas.” Guna menenangkan pikiran yang terus bergejolak tersebut dalam masa penisunnya, Henry pun mendiami sebuah rumah di bersahabat pelabuhan. Sayangnya, ini tidak lantas menghindarkan protagonis kita dari masalah. Mengira pilihannya untuk hengkang dari pekerjaan yakni jalan terbaik untuk berdamai dengan diri sendiri, kenyataannya pemerintah tidak membiarkan Henry untuk hidup tenang begitu saja. Mereka mengirim Danny Zakarweski (Mary Elizabeth Winstead) untuk mengintai Henry, untuk mengawasi gerak-geriknya. Tapi Danny yang identitasnya belakangan terbongkar, bukanlah bahaya sebenarnya bagi Henry. Yang perlu diwaspadai oleh sang huruf utama yakni seorang pembunuh bayaran yang masih muda, sangat gesit, serta mengetahui setiap langkahnya berjulukan Junior yang ternyata oh ternyata… mempunyai rupa yang sangat ibarat dengan Henry. What a surprise, huh?
Gemini Man sejatinya masih cukup sanggup dinikmati selama paruh pertama. Saya mengagumi penggunaan teknologinya yang tidak main-main sehingga memungkinkan untuk menimbilkan kesan “pop up” atau timbul di depan mata, serta terlihat sangat jernih sampai-sampai tak ada keriput yang sanggup ditutup-tutupi. Mesti diakui, perpaduan teknologi 3D HFR (high frame rate) memang menghadirkan pengalaman sinematik yang terhitung unik, khususnya dikala film menyuguhi kita dengan gelaran laga. Satu bab terbaik yang menciptakan saya terkesan dengan pilihan teknis dari Ang Lee yakni ketika film menghadirkan adegan kejar-kejaran antara dua Will Smith di Cartagena, Kolombia, memakai sepeda motor yang berujung pada pertarungan tak kalah gila. Terasa sungguh intens dimana penonton ditempatkan seakan-akan sedang memainkan permainan video di layar raksasa. Cool! Untuk sesaat, saya berpikir bahwa Lee telah berhasil menyempurnakan eksperimen teknologinya yang sebelumnya mengalami kegagalan kala diaplikasikan dalam Billy Lynn’s Long Halftime Walk (2016). Namun seiring bergulirnya durasi, keputusan untuk menerapkan teknologi ini ternyata menjadi pedang bermata dua. Saya acapkali terdistraksi ketimbang mendapati kesan realistis. Betapa tidak, kejernihan gambarnya menciptakan saya ibarat sedang menonton telenovela yang dibintangi oleh Fernando Colunga ketimbang sajian agresi untuk konsumsi layar lebar. Lebih-lebih, si pembuat film tak pernah lagi mengkreasi momen laga yang menciptakan penonton menahan nafas saking tegangnya. Lee lebih suka mencecoki penonton dengan obrolan, obrolan, dan obrolan.
Menilik jejak rekam sang sutradara yang memang tumbuh berkembang di genre drama, saya tentu tidak terkejut begitu mendapati Gemini Man disesaki oleh dialog. Hanya saja, rangkaian obrolan dalam film ini sama sekali tidak menggugah selera. Penuh dengan eksposisi untuk menjelaskan suatu insiden maupun karakteristik, serta terdengar sangat teramat tidak masuk akal untuk diucapkan oleh insan betulan. Nyaris tanpa emosi. Telenovelanya Paman Colunga saja masih sanggup bikin jantung ikut berdebar-debar ketika para karakternya bertukar obrolan soal perselingkuhan atau rebutan kekayaan, sementara di sini, saya resah harus bereaksi ibarat apa sehingga kesannya menentukan untuk menguap lebar-lebar. Will Smith tampak begitu kebosanan dalam tugas utamanya, dan tampak begitu janggal dikala memerankan Junior yang wajahnya didapat dari kombinasi tak halus antara stok film usang dengan motion captures. Jajaran pemeran pendukung ibarat Mary Elizabeth Winstead, Benedict Wong, dan Clive Owen pun tak banyak membantu alasannya tugas mereka tidak lebih dari tim hore untuk duel Smith vs Smith yang jauh dari kata seru. Penonton dibiarkan menunggu terlalu usang untuk menanti kemunculan Junior yang seharusnya menjadi lawan utama bagi Henry, dan mereka hanya mempunyai satu pertarungan asyik: kejar-kejaran di Kolombia. Selebihnya, antara adegannya terlampau gelap tanpa ada intensitas guna menutupi kekurangan di wajah Junior (saya hingga kelepasan berteriak ngeri begitu melihat wajahnya secara terang di ending), atau memang tidak terjadi apa-apa selain Henry memberikan wejangan yang diniatkan terdengar filosofis untuk sang kembaran muda.
Ketika film menutup gelarannya dengan konfrontasi final yang menciptakan penonton di sebelah saya mendadak nyeletuk, “hah gitu doang?”, saya pun tak mempunyai keraguan untuk menyebut Gemini Man sebagai salah satu film paling mengecewakan di tahun 2019. Apabila sajian ini ditangani oleh sutradara dengan jam terbang minim, saya masih sanggup memafhuminya. Tapi mengingat film ini dikerjakan oleh Ang Lee yang terbukti handal dalam bercerita, maka mendapati sebuah tontonan menjemukan tanpa ada narasi menggigit dan minim laga mendebarkan tentu terasa ibarat dibentuk patah hati oleh orang terkasih. Semoga saja Pak Lee segera tersadar dari obsesinya terhadap HFR sehingga tidak ada lagi telenovela asing di layar lebar pada masa-masa mendatang. #PrayForAngLee
Poor (2/5)
0 Response to "Review : Gemini Man"
Post a Comment