Review : Halloween (2018)


“He’s waited for this night. He’s waited for me. I’ve waited for him.” 

Diperkenalkan pertama kali ke hadapan publik oleh John Carpenter dalam Halloween (1978), Michael Myers seketika merengkuh popularitasnya sebagai salah satu ikon di sinema horor. Dideskripsikan dalam wujud seorang laki-laki remaja bertubuh tinggi besar yang mengenakan topeng, Michael merupakan seorang (atau sesosok?) pembunuh berantai yang bertanggung jawab atas janjkematian lima orang di wilayah Haddonfield, Illinois. Motifnya masih dipertanyakan hingga sekarang (dan ini salah satu alasan yang membuatnya menyeramkan: misterius), tapi siapapun yang menyaksikan film pertamanya tentu mengetahui bahwa beliau mendekam di rumah sakit jiwa selama belasan tahun usai kedapatan membunuh saudari kandungnya, Judith. Berhasil meloloskan diri di tahun ke-15, Michael lantas berhadapan dengan seorang remaja berjulukan Laurie Strode (Jamie Lee Curtis) yang ditakdirkan sebagai musuh abadinya. Pada film kedua rilisan tahun 1981 terungkap fakta bahwa mereka berdua mempunyai korelasi darah dan selepas beberapa film yang tidak mempertandingkan dua aksara ini, Halloween H20 (1998) memberi kesempatan bagi keduanya untuk saling melepas rindu. Menilik pencapaian box office yang masih mengesankan, pihak studio pun terus mengeksploitasi Michael Myers termasuk membuatkannya franchise anyar dibawah penanganan Rob Zombie yang terhenti di instalmen kedua. Pun begitu, perjuangan untuk menghidupkan lagi nama besar dari aksara berjulukan The Shape ini kembali diupayakan dalam Halloween (2018) yang dipresentasikan sebagai sekuel pribadi dari film pertama. 

Ya, Halloween rekaan David Gordon Green (Stronger, Pineapple Express) ini menganulir seluruh narasi yang berlangsung sedari Halloween II garapan Rick Rosenthal hingga Halloween II kepunyaan Rob Zombie. Kaprikornus tak ada lagi plot yang menyatakan Laurie sebagai saudari kandung Michael, tak ada lagi plot yang menawarkan Laurie mengalami goncangan kejiwaan, dan tak ada lagi plot wacana Laurie yang menggandakan kematiannya kemudian menjalani profesi sebagai kepala sekolah. Satu-satunya plot yang masih dianggap oleh Halloween versi termutakhir ini berasal dari film induk yang berakhir dengan adegan Michael terjatuh dari balkon usai ditembak berulang kali oleh Dr. Sam Loomis. Penonton yang bertanya-tanya, “bagaimana ya nasib Michael sehabis insiden itu? Apakah beliau masih hidup?,” memperoleh alternatif balasan di sini yang mengambil latar penceritaan 40 tahun sehabis Michael ditembak. Tentu saja Michael masih hidup dan sekarang beliau kembali mendekam di rumah sakit jiwa dengan penjagaan ketat. Sementara itu, Laurie si musuh turun-temurun telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi Michael – termasuk mengubah rumahnya menjadi benteng penuh perangkap – meski konsekuensinya ialah mempunyai korelasi yang jelek dengan putrinya, Karen (Judy Greer), dan cucunya, Allyson (Andi Matichak). Saat Michael lagi-lagi berhasil melarikan diri usai kendaraan yang memindahkannya ke akomodasi kejiwaan lain mengalami kecelakaan, tiga wanita dari tiga generasi ini pun mau tak mau mesti mengenyahkan kebencian diantara mereka untuk sejenak demi menyatukan kekuatan dalam menghadapi si mesin pembunuh. 


Menilik materi penceritaannya yang mengabaikan sembilan film terdahulu, terang tidak sulit bagi penonton anyar yang tidak mengikuti franchise ini untuk bisa mengikuti narasi yang dikedepankan oleh Halloween. Yang diharapkan hanyalah menonton seri induk, meski sejatinya bisa pula dilewati karena David Gordon Green menghadirkan dua aksara jurnalis yang mewawancarai Michael beserta Laurie demi memberi citra (sekaligus penyegar ingatan) kepada penonton mengenai masa kemudian yang menautkan dua aksara ini. Tapi jikalau kau ingin merasakan korelasi penuh kebencian yang tumbuh diantara Laurie dengan Michael, ada baiknya sih terlebih dahulu merasakan sajian kreasi John Carpenter tersebut apalagi itu akan sangat membantumu dalam melewati babak pertamanya yang berjalan dengan cukup lambat. Si pembuat film tak tergesa-gesa untuk menyodori kita dengan teror alasannya ialah David Gordon Green pun mengaplikasikan slowburn terror menyerupai Pak Carpenter, dan beliau lebih menentukan untuk fokus mengembangkan ketiga aksara wanita di sini; Laurie, Karen, dan Allyson. Penonton akan mendapati bagaimana stress berat membentuk Laurie menjadi sosok yang paranoid dibalik topeng tangguh yang dikenakannya, sementara Karen yang selama belasan tahun menjalani hidup penuh tekanan demi menuruti kemauan sang ibu untuk berlatih pertahanan hidup bermetamorfosis musuh bagi Laurie. Diantara mereka hadir Allyson – dengan kesamaan penampilan menyerupai Laurie di film induk – sebagai perantara yang mendorong ibu-anak ini untuk meninjau kembali korelasi mereka yang tak sehat. Apakah kesalahan selayaknya ditimpakan kepada Laurie yang terlalu keras dalam menggembleng putrinya, atau ketidakpahaman Karen mengenai situasi yang mengancam mereka, atau kedua belah pihak bekerjsama berada di posisi yang sama dimana tak ada yang bisa dipersalahkan? 

Pembacaan aksara ini mesti diakui menarik alasannya ialah memungkinkan bagi penonton untuk mengenal sosok mereka sehingga muncul kepedulian terhadap nasib masing-masing saat Michael mulai bergentanyangan di Haddonfield seraya membawa senjata andalannya: pisau. Tapi tak bisa disangkal, David Gordon Green bukanlah John Carpenter yang mampu menguarkan kengerian di sepanjang durasi hanya dari atmosfer dan penantian datangnya Michael. Ada kalanya rasa jenuh sempat membayangi jelang titik puncak akhir introduksi yang sedikit terlalu bertele-tele ditambah unsur kejutan yang agak tereduksi menyusul keputusan si pembuat film untuk melaksanakan ‘penghormatan’ dengan merekonstruksi sejumlah adegan dari film pertama. Sesekali sih bolehlah, tapi berkali-kali dengan pengadeganan yang tak jauh berbeda? Hmmm… nanti dulu. Beruntung skoring tema gubahan John Carpenter yang tak lekang oleh waktu masih menawarkan tajinya dalam membangkitkan bulu kuduk dan Jamie Lee Curtis sekali lagi mengambarkan bahwa beliau ditakdirkan untuk memerankan Laurie dengan performanya yang berenergi. Kombinasi dua hal ini – ditambah performa para permain termasuk Judy Greer dan Andi Matichak – yang membantu menghindarkan film dari snoozefest saat pembicaraan tak lagi menarik. Saat kau mampu bertahan dari puluhan menit yang mengalun tak stabil, maka bersiaplah untuk menyambut sajian utamanya yang syukurlah jauh dari kata mengecewakan: konfrontasi simpulan antara Laurie dengan Michael. Meski sekali lagi berkejar-kejaran di dalam rumah, babak titik puncak dari Halloween ini masih bisa tersaji dengan sangat intens yang menciptakan saya tak kuasa untuk menghembuskan napas kelegaan. Selepas sederet film kelanjutan yang melempem dan reboot yang sebaiknya dilupakan saja, Michael Myers kesudahannya memperoleh kesempatan untuk comeback yang layak di jilid ini. Tegang!

Exceeds Expectations (3,5/5)



0 Response to "Review : Halloween (2018)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel