Review : Hobbs & Shaw
“If the three of us don’t work together, billions of people will die.”
Saat franchise The Fast and the Furious yang semakin menggelegar dalam perjalanannya tetapkan untuk merekrut pemain film karismatik Dwayne Johnson sebagai salah satu aksara inti, Luke Hobbs, khalayak sudah sanggup mengira kemana arahnya. Entah cepat atau lambat, beliau akan mendapat tugas sangat signifikan melebihi Vin Diesel selaku pemeran utama. Benar saja, selepas Jason Statham mengambil tugas di Furious 7 (2015) sebagai villain berjulukan Deckard Shaw – tapi belakangan beraliansi dengan para pahlawan – dimana karakternya kerap digambarkan bersinggungan dengan Luke Hobbs, gagasan untuk mengkreasi sebuah film sempalan bagi dua bintang laga ini pun mencuat. Terlebih lagi, Hobbs dan Shaw telah mencuri hati banyak penggemar berat berkat karisma besar dua pelakonnya dan rivalitas diantara karakter-karakter ini memberi kesejukan tersendiri bagi franchise. Kaprikornus mengapa tidak memberi keduanya sebuah platform khusus biar sanggup saling baku hantam maupun saling ejek secara intens tanpa harus terdistraksi oleh Dominic Toretto dan tim? Bukankah terdengar menyerupai inspirasi cantik untuk mempersilahkan penonton berkenalan lebih jauh dengan Hobbs dan Shaw yang sejatinya mempunyai karakteristik lebih menarik (well, setidaknya bagi saya) ketimbang Toretto ini?
Selagi mempersiapkan jilid ke-9, Universal Pictures pun mempersembahkan Hobbs & Shaw yang menjadi spin-off pertama dalam rangkaian seri The Fast and the Furious. Seperti telah tercantum dengan sangat terperinci di judul, film isyarat David Leitch (John Wick, Deadpool 2) ini menempatkan Luke Hobbs dan Deckard Shaw sebagai aksara sentral. Dua aksara yang mulanya saling membenci satu sama lain ini dipaksa untuk bekerja sama sehabis adik Deckard, Hattie (Vanessa Kirby), terpapar sebuah virus berbahaya berjulukan Snowflake yang sanggup meluluhlantakkan umat manusia. Pekerjaan untuk menyelamatkan Hattie sekaligus mengamankan Snowflake tentu bukan perkara gampang karena: 1) ketiganya dinarasikan sebagai “buronan” oleh media dibawah hasutan organisasi teroris berjulukan Eteon, 2) mereka harus berpacu dengan waktu untuk menemukan obat penawar bagi Hattie atau konsekuensinya yaitu virus akan terlepas ketika sang inang mati, dan 3) mereka mesti menghadapi Brixton Lore (Idris Elba), mantan distributor MI6, yang sekarang berkembang menjadi menjadi cyborg jahat sehingga memungkinkannya untuk mempunyai kekuatan melebihi insan normal. Demi menyelamatkan dunia – dan juga Hattie – tiga sekawan ini pun kudu mengesampingkan ego masing-masing, menyatukan kekuatan, dan kemudian bertolak dari Inggris menuju Russia hingga ke Samoa.
Dipenuhi dentuman tiada henti di sepanjang durasinya, Hobbs & Shaw tak akan mengalami kesulitan untuk memuaskan hasrat para penggemar berat franchise The Fast and the Furious khususnya jikalau kau sudah memilih ekspektasi secara tepat. Dalam artian, tidak lagi mendamba seri ini akan berkutat pada kebut-kebutan liar, menginginkan narasi kompleks, serta memahami betul bahwa jualan utama dari judul ini yaitu interaksi benci-cinta antara dua tokoh utamanya. Ya, selama kau tiba ke bioskop guna menyaksikan Hobbs & Shaw dengan pengharapan berupa: 1) memperoleh tontonan eskapisme, 2) yang isinya gelaran laga pemacu adrenalin tak berkesudahan, serta 3) disisipi momen-momen lucu untuk mencairkan ketegangan, maka besar kemungkinan bakal menyunggingkan senyum tatkala melangkahkan kaki ke luar bioskop. Hobbs & Shaw sendiri mengaplikasikan komposisi yang tersusun atas baku hantam-adu mulut-baku hantam guna menggulirkan kisah. Saat penonton tak melihat Hobbs atau Shaw sibuk memukuli para penjahat, penonton akan melihat keduanya saling ejek menyerupai dua bocah yang saling membenci. Ditunjang oleh permainan apik dari Dwayne Johnson beserta Jason Statham, adegan ejek mengejek yang berlangsung berulang kali di beberapa titik ini tak pernah terasa melelahkan dan justru memperlihatkan kesenangan tersendiri.
Saya tergelak tatkala mereka langgar mulut, saya pun bersorak ketika mereka menghajar musuh hingga babak belur. Hobbs & Shaw benar-benar mendefinisikan sajian popcorn klasik untuk mengisi liburan demam isu panas dimana penonton hanya diajak untuk memperlihatkan reaksi-reaksi paling dasar menyerupai tertawa, berteriak, bersorak, hingga menitikkan air mata. Dalam upayanya memenuhi definisi tersebut, Hobbs & Shaw boleh dikata berhasil. Leitch sanggup memberi penghiburan melalui rangkaian laga yang tersaji menggelegar, serentetan momen pengundang tawa yang sekali ini mempunyai muatan lebih pekat ketimbang seri The Fast and the Furious pada umumnya, serta sedikit sentuhan kehangatan begitu film mengapungkan satu topik yang telah menyatu dengan franchise: keluarga. Adanya bantuan akting dari Vanessa Kirby yang didesain lebih dari sekadar damsel in distress (she’s badass!), Idris Elba yang intimidatif sebagai villain yang sukar ditaklukkan, dan beberapa cameo mengejutkan, membantu memberi hentakkan bagi film yang sedianya sudah bernyawa hanya mengandalkan performa duo Johnson-Statham. Berkat performa cantik jajaran pemain ini, penonton sanggup bertahan melewati durasi sepanjang 136 menit yang cenderung terlampau usang untuk ukuran film yang tidak dibekali bahan penceritaan mendalam sampai-sampai kesan berlarut-larut pun tak terelakkan. Ditambah adanya satu amunisi di babak titik puncak menyerupai adegan “sambung menyambung mobil” di pinggir tebing yang tersaji seru, paling tidak penantian panjang penonton mendapat kompensasi yang tergolong layak.
Note : Hobbs & Shaw mempunyai tiga adegan bonus yang posisinya terletak di: 1) sempurna sehabis dimulainya end credit, 2) sela-sela end credit, dan 3) penghujung end credit.
Exceeds Expectations (3,5/5)
0 Response to "Review : Hobbs & Shaw"
Post a Comment