Review : Ratu Ilmu Hitam (2019)


“Ketidaktahuan itu juga dosa, sayang.”

Saat pertama kali mendengar rumah produksi Rapi Films akan mendaur ulang salah satu film andalannya, Ratu Ilmu Hitam (1981), reaksi yang bisa saya lontarkan seketika adalah, “wow!”. Seperti halnya Pengabdi Setan yang versi termutakhirnya turut mendapat puja-puji dari banyak sekali kalangan, film isyarat Lilik Sudijo ini pun bukanlah sajian horor ecek-ecek. Tengok saja pencapaiannya dalam industri: menggenggam lima nominasi dalam Festival Film Indonesia 1982 termasuk untuk kategori Aktris Utama Terbaik bagi Suzzanna. Pencapaian ini terang impresif, lebih-lebih kalau kita berkaca pada fakta bahwa genre horor amat sangat jarang dilirik oleh ajang penghargaan bergengsi. Guna menjaga “nama baik” dari Ratu Ilmu Hitam, pihak rumah produksi pun memercayakan penulisan skenario kepada Joko Anwar yang terbukti bisa menghantarkan Pengabdi Setan (2017) dalam meraih kesuksesan secara kritikal maupun finansial. Sedangkan untuk urusan mengejawantahkan ke bahasa audio visual, Kimo Stamboel – salah satu personil dari The Mo Brothers – lah yang diberi amanat. Sebuah kerja sama yang mesti diakui tampak menggiurkan di atas kertas dan seolah memungkinkan tersajinya sebuah sajian menakutkan yang penuh teror. Yang kemudian membuat saya dirundung rasa skeptis ialah ketidakpuasan terhadap penggarapan Kimo dalam DreadOut yang dirilis pada awal tahun ini. Ada keraguan dan ada stress berat yang masih tersisa sampai-sampai membentuk satu pertanyaan. Akankah interpretasi anyar dari Ratu Ilmu Hitam sanggup ditangani dengan baik oleh Kimo sehingga sajian menakutkan mencekam pun sanggup tersaji? Let’s see.

Meski mengusung judul Ratu Ilmu Hitam, guliran penceritaan yang diajukan oleh versi anyar ini tidak mempunyai kemiripan dengan narasi dari versi lampau. Tidak juga mempunyai keterkaitan karena si pembuat film telah menyatakan secara tegas, kesamaan hanya bersumber dari temanya yang mempergunjingkan soal balas dendam melalui santet. Sudut pandang yang dipergunakan dalam pengisahan pun kali ini berpindah ke korban, alih-alih memakai perspektif dari si tukang teluh. Oleh Joko dan Kimo, korban yang dilibatkan dalam Ratu Ilmu Hitam meliputi sejumlah keluarga yang mempunyai ikatan dengan satu panti asuhan. Si tokoh utama, Hanif (Ario Bayu), mendatangi panti dimana ia dibesarkan bersama istri, Nadya (Hannah Al Rashid), dan ketiga anaknya. Kedatangan Hanif ke panti yang bahkan tak terdeteksi di peta ini – menyerupai kata salah satu huruf – ialah dalam rangka menjenguk pengasuhnya, Pak Bandi (Yayu Unru), yang sedang sakit keras. Disamping Hanif, dua sahabatnya semasa di panti, Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan), juga turut hadir bersama istri masing-masing. Dalam kunjungan singkat ini, ketiga laki-laki tersebut berniat untuk menunjukkan penghormatan terakhir kepada seseorang yang pernah mengasuh mereka. Selain itu, berkumpul bersama orang-orang tersayang terdengar pula menyerupai pandangan gres manis untuk membebaskan diri dari kepenatan hidup. Akan tetapi, kunjungan yang semestinya menyenangkan sekaligus menghangatkan ini perlahan berubah menjadi mimpi jelek dikala satu persatu dari pengunjung terkena santet jawaban dosa dari masa kemudian yang coba dihapus begitu saja.


Tidak terlalu yakin Ratu Ilmu Hitam akan terhidang sebagai tontonan horor yang greget, siapa menerka kalau kemudian saya justru tertambat dengan film ini sedari menit pembuka hingga akhir? Kimo yang berbuat blunder di DreadOut, berupaya untuk menebus kesalahannya di sini dan hasil yang terpampang sama sekali tak mengkhianati kerja kerasnya. Ada ketertarikan yang terbangun, ada ketegangan yang terdeteksi, dan ada pula kengerian yang menyulitkan penonton untuk menghembuskan nafas lega. Memang betul bahwa Ratu Ilmu Hitam tidak mengikuti jejak Sebelum Iblis Menjemput isyarat Timo Tjahjanto (personil The Mo Brothers yang lain) dimana intensitas telah digeber habis-habisan sedari menit pembuka, dan lebih menentukan untuk mengalun secara perlahan di menit-menit pembuka. Tapi saya eksklusif menyukai pendekatan yang ditempuh oleh si pembuat film yang juga meminimalisir penggunaan musik untuk menggedor jantung ini karena memberi kesempatan bagi penonton dalam berkenalan terlebih dahulu dengan para huruf yang jumlahnya seabrek. Tidak semuanya mempunyai penulisan huruf yang menarik menyerupai dua anak Hanif, Dina (Zara JKT48) dan Sandi (Ari Irham), yang tidak berkontribusi pada bobot cerita. Tapi film masih mempunyai satu dua tokoh semacam Lina (Salvita Decorte) beserta Eva (Imelda Therinne) yang mencuri perhatian sedari mula alasannya ialah dikisahkan mengidap fobia tertentu yang belum apa-apa sudah membuat imajinasi liar di kepala. Saya meyakini, ketakutan spesifik mereka ini akan berkembang menjadi menjadi teror lebih besar yang membawa keduanya ke situasi “hidup atau mati” pada menit-menit berikutnya. 

Betul saja, Kimo dan Joko lantas memanfaatkan duo ini untuk mempresentasikan body horror yang memunculkan daya cekam dari tubuh insan yang berulah. Kita melihat Eva yang terobsesi pada kebersihan dikerubungi kelabang yang tak segan-segan merasuki tubuh, kemudian kita turut melihat Lina yang senantiasa khawatir dengan berat badannya menyayat-nyayat tubuhnya sendiri demi “menghilangkan” lemak. Terdengar mengerikan? Begitulah cara kerja Kimo dalam menggeber kengerian di Ratu Ilmu Hitam. Alih-alih sekadar mendayagunakan jumpscares yang jumlahnya relatif minim di sini (Thank God!), si pembuat film memantik ketakutan penonton melalui imaji-imaji menggelisahkan yang bermain-main dengan fobia dan atmosfer tidak mengenakkan hati yang senantiasa membuat kita menaruh curiga. Senantiasa membuat kita bertanya-tanya, apakah ada diantara huruf ini yang benar-benar bisa dipercaya? Terlebih lagi, sebagian dari huruf ini mengubur satu belakang layar gelap, dan sebagian lainnya mengusung motif dipertanyakan dibalik kehadiran mereka. Kombinasi antara kecurigaan pada huruf tertentu beserta kewaspadaan terhadap datangnya santet yang akan mendera para huruf ialah apa yang menjaga atensi saya terhadap Ratu Ilmu Hitam untuk tetap hidup. Saat santet itu jadinya tiba, sang sutradara pun tidak main-main dalam memvisualisasikan teror. Apa yang terjadi pada Eva dan Lina hanyalah pemanasan alasannya ialah film masih mempunyai sederet amunisi yang menampilkan bola mata mencuat dari soketnya, lisan yang dijahit memakai staples tembak, interpretasi atas siksa neraka lengkap dengan suara-suara erangan yang akan mendorongmu untuk menutup indera pendengaran (dan mata), hingga penampakan sederhana di ruang televisi maupun halaman depan yang bikin tubuh seketika merinding. Phew.


Kimo terbukti handal dalam mengkreasi adegan-adegan bercita rasa menakutkan nan sinting di sini, dan itulah yang membuat Ratu Ilmu Hitam sanggup tampil menjulang sekaligus menutupi titik lemahnya. Naskah hasil goresan pena Joko yang sekali lagi melontarkan komentar terhadap keluarga dan pihak yang menyalahgunakan otoritas pun cukup baik, meski saya menyayangkan konklusinya yang cenderung tergesa dan penulisan huruf yang kurang berimbang dimana beberapa tokoh termasuk sang villain hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk unjuk gigi. Alhasil, jawaban dari keterbatasan tugas berikut pengarahan pemain yang agak gagap (ya, Kimo cenderung bermasalah pada bab ini), sejumlah pelakon pun mengalami kesulitan dalam hadirkan performa yang gilang gemilang. Dari pemain ansambel yang meriah ini, tercatat hanya Hannah Al Rashid, Muzakki Ramdhan, Imelda Therinne, serta Putri Ayudya yang sanggup mempersembahkan akting mengesankan, sedangkan lainnya berada di taraf kondusif atau justru tersiakan. Cukup disayangkan, memang. Beruntunglah Joko terhitung handal dalam menyuplai momen-momen menakutkan sehingga Kimo pun mempunyai materi mencukupi untuk bermain-main dengan visual dan menghindarkannya dari kemungkinan mengulangi kesalahan yang sama menyerupai DreadOut.

Exceeds Expectations (3,5/5)


0 Response to "Review : Ratu Ilmu Hitam (2019)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel