Review : Ready Or Not
“Do you like to play games?”
Saat pertama kali menengok trailer dan membaca sinopsis dari Ready or Not, saya seketika berseru heboh, “harus banget nonton film ini!.” Betapa tidak, materi promosinya seolah menjanjikan bahwa ini yakni tontonan yang memiliki nilai kesenangan cukup tinggi. Memang sih secara premis terdengar tidak ada pembaharuan atau sesuatu istimewa. Terlebih bukan sekali dua kali kita menjumpai suatu film yang mengulik soal “permainan” memburu insan demi bertahan hidup di muka bumi. Tapi benarkah Ready or Not yakni sajian yang amat klise? Benarkah si pembuat film yang terdiri atas dua kepala, Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett (Devil’s Due, Southbound), sekadar mendaur ulang tanpa pernah berusaha untuk mengatakan sesuatu yang berbeda? Well, jikalau kau sudah melaksanakan apa yang telah saya lakukan – mengintip trailer, membaca sinopsis – maka tentu tahu bahwa duo sutradara tersebut tidaklah semalas itu. Ada modifikasi, ada sentuhan kreatif yang diaplikasikan. Mereka mengkreasi sebuah mitologi gres yang memosisikan permainan berburu insan selayaknya permainan kanak-kanak tradisional dengan tujuan melestarikan tradisi. Dengan tujuan menolak bala demi melindungi harta benda maupun generasi-generasi penerus suatu keluarga. Istimewanya lagi, mereka juga membuat satu aksara wanita yang terlihat luar biasa keren, sampai-sampai sulit untuk memandangnya sebelah mata apalagi saya memang selalu dibentuk bertekuk lutut oleh tokoh-tokoh wanita yang badass.
Dalam Ready or Not, wanita badass yang dimaksud yakni Grace (Samara Weaving) yang gres saja menjadi bab dari keluarga Le Domas usai menikahi si putra bungsu, Alex (Mark O’Brien). Menilik latar belakang Grace yang tumbuh besar di rumah didik serta harapannya untuk memiliki keluarga betulan, gampang untuk menyebut dongeng Grace sebagai Cinderella story. Dia tidak hanya telah mewujudkan mimpinya dengan menikahi sang kekasih, tapi beliau juga telah mengangkat status sosialnya karena Le Domas bukanlah keluarga biasa. Mereka yakni sekumpulan orang-orang berdompet tebal yang memperoleh penghasilan utama dari produksi permainan kartu dan papan. Mereka juga sekumpulan orang yang menjunjung tinggi tradisi demi mengingat asal muasal sekaligus menghormati leluhur. Ketaatan keluarga Le Domas terhadap tradisi diimplementasikan dalam bentuk permainan untuk menginisiasi para anggota keluarga anyar yang diperoleh lewat jalur pernikahan. Sebagai seseorang yang gres saja bergabung, Grace tentu saja mesti mengikuti permainan ini sesudah resepsi ijab kabul dihelat. Ditentukan secara acak oleh sebuah kotak misterius, permainan yang harus dijalankan oleh Grace beserta anggota keluarga lain yakni petak umpet. Untuk sesaat, protagonis kita menerka bahwa permainan ini amat gampang untuk dilakukan… hingga kemudian beliau melihat salah satu pelayan tewas dibunuh secara brutal oleh abang iparnya. Pada ketika itulah beliau menyadari bahwa dirinya sedang terjebak dalam permainan hidup atau mati.
Apabila hanya ada satu kata yang dapat dipinjam untuk mendeskripsikan Ready or Not, maka itu yakni mengasyikkan. Duo pembuat film mengondisikan penonton untuk tertawa terbahak-bahak sekaligus mencicipi sensasi jantung berdebar-debar di nyaris sepanjang durasi – well, setidaknya usai kepala keluarga Le Domas menyatakan permainan telah dimulai. Tapi tunggu, tunggu sebentar… terbahak-bahak? Bukankah film ini yakni sebuah tontonan yang menjejakkan kakinya di ranah horor ya? Kok dapat penonton dibentuk tergelak? Apakah ini didorong oleh keinginan untuk melepas stres atau Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett memang sengaja menyelipkan seabrek humor ke dalam narasi? Jawaban yang paling sempurna adalah: kesengajaan. Ketimbang mengaplikasikan nada pengisahan yang serba muram, Ready or Not justru dibawakan dengan penuh “keceriaan”. Bukan berarti segalanya aman-aman saja, hanya saja proses perburuan terhadap Grace diwarnai dengan humor-humor gelap yang sumbernya dari tingkah laris nyentrik keluarga Le Domas, situasi-situasi janggal, maupun pembunuhan-pembunuhan tak disengaja. Sebuah keputusan yang terbilang jitu alasannya yakni menghindarkan penonton dari perasaan sepaneng (baca: tegang luar biasa) dan memberi pemanis kesenangan tersendiri dalam menyaksikan permainan petak umpet dengan latar belakang yang luar biasa absurd ini. Betapa tidak, saya selalu mendengar keriuhan penonton lain tatkala menyaksikan Ready or Not. Terkadang mereka teriak-teriak panik, terkadang mereka jerit-jerit takut, dan terkadang pula mereka tergelak-gelak. Seru, bukan?
Sebagai sebuah sajian yang menempatkan dirinya sebagai crowd pleaser, Ready or Not memang tak mengecewakan. Bahkan, film ini pun secara mengejutkan turut menghadirkan narasi berisi tatkala naskah rekaan Guy Busick beserta R. Christopher Murphy menyelipkan komentar terhadap masyarakat berduit, tradisi-tradisi ganjil, dan subteks menggelitik aliran terkait somasi seorang wanita terhadap tradisi yang mengekang keberadaannya. Apakah Grace menentukan untuk tunduk (atau dengan kata lain, mengubah dirinya) demi dapat diterima dalam lingkungan keluarga barunya… atau beliau justru mengatakan perlawan karena merasa tradisi ini tidak sesuai dengan apa yang dipercayainya? Ready or Not tak pernah secara terang-terangan meminta penonton untuk merenungkan masalah ini sehingga membawa film ke arah lebih serius, dan justru disitulah letak menariknya. Ada sentilan, ada materi percakapan yang tak disangka-sangka, ditengah sentakan ahli tanggapan melihat muncratan darah. Paling tidak ketika kita ngilu menyaksikan Grace menancapkan tangannya ke sebuah paku, kita punya materi untuk mendistraksi pikiran. Tapi tetap saja, sulit untuk mendistraksi pikiran dari sosok Grace yang karakternya ditulis dengan menarik dan dihidupkan secara cemerlang oleh Samara Weaving. Walau dominasinya membuat karakter-karakter lain cenderung terpinggirkan dalam hal pengembangan (sampai-sampai ada satu aksara inti memperlihatkan perubahan perilaku membingungkan), pembawaan Weaving yang effortless menyebabkan Grace sebagai aksara yang gampang untuk dicintai. Maka tak heran ketika Grace menyobek gaun pengantinnya atau ketika beliau mengambil senapan, penonton serempak bersorak heboh sebagai bentuk dukungan.
Exceeds Expectations (3,5/5)
0 Response to "Review : Ready Or Not"
Post a Comment