10 Film Indonesia Terbaik 2018 Versi Cinetariz


Selamat tiba tahun 2019, selamat tinggal tahun 2018! 

Guna menyambut datangnya tahun gres ini, maka izinkanlah saya untuk sejenak mengilas balik film Indonesia dalam setahun terakhir ini yang sukses menorehkan rekor usai mendatangkan 50 juta penonton buat berbondong-bondong memenuhi bioskop (!). Kilas balik yang saya persiapkan sih sederhana saja sebab sejatinya sudah menjadi tradisi tahunan Cinetariz semenjak dahulu, yakni daftar personal bertemakan “film Indonesia terbaik 2018”. Yang perlu saya tegaskan kembali, daftar ini bersifat personal sehingga lebih sempurna kalau dibaca: film-film Indonesia yang akan saya rekomendasikan untuk kalian dengan senang hati. Oleh sebab itu, yaitu suatu hal yang masuk akal apabila ada perbedaan pendapat dengan pembaca budiman. Karena bagaimanapun juga, daftar ini bersifat subjektif yang besar kemungkinan dipengaruhi pula oleh pengalaman menonton maupun kedekatan representasi. 

Khusus untuk daftar tahunan film Indonesia kali ini, saya terpaksa mengerucutkannya menjadi 10 besar saja (plus 5 untuk honorable mentions). Selain sebab terlalu malas buat berpanjang-panjang dalam mengetik (pegel euy!), ternyata tak banyak pula film Indonesia di tahun 2018 yang benar-benar merasuk ke dalam hati. Dari 80-an judul yang dilahap di bioskop-bioskop tanah air sepanjang tahun, hanya ada sekitar 10% saja yang terbilang cihuy. Selebihnya berada dalam kategori “just okay” atau “bagus sih, tapi…” atau malah “errr…” Itulah mengapa, daftar tahun ini cenderung gampang-gampang susah untuk disusun. Gampang sebab film yang membekas di hati eksklusif terpampang kasatmata di ingatan, dan susah sebab agak berpikir panjang untuk menggenapi daftar. Daripada terkesan dipaksakan, balasannya mau tau mau diputuskan untuk dipadatkan menjadi 10 besar saja dan tanpa perlu berbasa bau lagi, inilah film-film Indonesia pilihan saya dari tahun 2018 dimulai dengan… 

Honorable Mentions (film-film yang nyaris masuk top 10 diurutkan menurut abjad) 

# A Man Called Ahok


Film biopik yang mengikat dan Denny Sumargo menandakan bahwa ia layak diperhitungkan. 

# Jelita Sejuba


Putri Marino keren sekali, begitu juga dengan adegan melamar memakai teropong. So sweet! 

# Rompis 


Ini bukan film percintaan remaja menye-menye lho. Obrolan soal hubungan asmaranya pintar balig cukup akal banget. 

# Suzzanna Bernapas dalam Kubur 


Kocak dan elemen teknisnya juara. Luna Maya pun ibarat banget dengan mendiang Suzzanna! 

# Yowis Ben 


Senang bisa mendengar obrolan Bahasa Jawa Malangan di sepanjang film. Plus, guyonannya lucu pol! 

Lalu inilah… 

TOP 10 

#10 Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta 


Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta mempunyai dua versi yang dipertontonkan ke publik dengan kualitas jauh berbeda. Yang pertama yaitu versi bioskop berdurasi 148 menit yang bikin mengernyitkan dahi, sementara yang kedua yaitu versi Director’s Cut berdurasi 160 menit (ini sempat ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018) yang membayar lunas kekecewaan pada versi bioskop. Saya beruntung sekali berkesempatan untuk menyaksikan versi kedua yang memang jauh lebih baik dari segi penceritaan. Ada narasi utuh nan memuaskan yang menjelaskan wacana kebesaran si karakter tituler sehingga muncul pemahaman mengapa sosoknya dianggap penting, ada performa sangat baik dari pemain ansambel khususnya Marthino Lio, dan ada pula visual megah di dalamnya. Favorit saya yaitu adegan pemakaman Sultan Agung di ujung film yang membuat diri ini merinding. 

#9 Eiffel… I’m in Love 2


Inilah kejutan manis pertama di tahun 2018. Tanpa dinyana-nyana, Eiffel… I’m in Love 2 sanggup dihadirkan sebagai tontonan percintaan yang memikat, manis-manis menggemaskan, jenaka, sekaligus tampak mewah. Interaksi antara Shandy Aulia dengan Samuel Rizal masih ibarat yang kita saksikan 15 tahun lalu, bahkan lebih asyik. Ada keseruan tersendiri menyaksikan mereka bahu-membahu baik ketika ribut-ribut yang memunculkan elemen komedi menyegarkan maupun ketika bermesraan yang menghadirkan elemen romantis yang bikin senyum-senyum. Film ini pun mempunyai salah satu adegan paling romantis dalam film percintaan tanah air dalam bentuk adegan rekonsiliasi dua karakter utama di Menara Eiffel yang sekaligus memberi klarifikasi memuaskan kepada penonton mengenai alasan keduanya tak kunjung dipersatukan dalam ikatan pernikahan. 

#8 Aruna dan Lidahnya


Saya menyukai energi yang diberikan oleh Hannah Al Rashid untuk karakternya yang menggemari tantangan, saya juga menyukai Nicholas Saputra yang bermain amat santai yang secara tak eksklusif melepaskan gambaran arogan dari karakter Rangga, dan saya pun menyukai verbal berikut gestur yang ditunjukkan oleh Dian Sastro setiap kali karakternya malu-malu tapi mau ketika berada di erat karakter yang dimainkan oleh Oka Antara dan 'merobohkan dinding kempat' (seolah berbicara kepada penonton). Bikin gemas, bikin ketawa ngakak. Lakon apik jajaran pemain ini merupakan salah satu kunci yang membuat Aruna dan Lidahnya terasa enak kala disantap disamping visual yang bikin ngiler dan pemilihan lagu-lagu pengiring dari kurun 90-an yang bisa merasuk ke dalam sejumlah adegan. 

#7 Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


Apabila ekspektasimu tidak menjulang tinggi-tinggi dengan mendamba film ini mempunyai narasi kompleks sarat intrik dan pencapaian teknis setingkat film blockbuster buatan studio besar Hollywood hanya sebab keterlibatan Fox di dalamnya, rasa-rasanya tidak sulit untuk terpuaskan oleh Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Film ini bisa memenuhi segala pengharapan saya sebagai sebuah tontonan silat yang bangkit di jalur eskapisme. Kocak, seru, dan menyenangkan. Lontaran humor yang sebagian besar digenggam oleh karakter Wiro mengikuti celetukan beserta sikapnya yang tengil-tengil sableng tidak sedikit diantaranya yang mengenai target sampai-sampai beberapa kali saya dibentuk tergelak-gelak selama menonton. 

#6 Koki-Koki Cilik


Ada satu perasaan yang didapat usai menyaksikan Koki-Koki Cilik di bioskop, yakni bahagia. Sepanjang durasi mengalun, film ini sanggup membawa saya melewati banyak sekali macam fase emosi yang membuat diri ini tertawa terbahak-bahak, kemudian menyeka air mata, kemudian meneteskan air liur, hingga termotivasi. “Pokoknya, saya harus bisa masak. Masak salmon yang enak ibarat dedek-dedek itu!,” begitu ujar saya selepas melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop. Ya, ada banyak kesenangan dan rasa semangat yang diciptakan oleh Ifa Isfansyah dalam Koki-Koki Cilik, bahkan sedari menit pertama yang memberi kita sebuah tampilan unik pada opening credit

#5 The Night Comes for Us


Melalui The Night Comes for Us, Timo Tjahjanto unjuk kebolehan yang sekaligus menandakan bahwa kemampuannya dalam menggarap film berkelahi telah memperlihatkan perkembangan signifikan dan kegilaan visualnya bisa sangat melampaui batas ketika sensor tak lagi membelenggu. Ada banyak momen berkelahi yang bisa dikenang di sini yang bukan semata-mata berkesan sebab tingkat kesadisannya yang jahanam, tetapi juga sebab kecakapan si pembuat film dalam mengeksekusinya yang melibatkan permainan teknis mengagumkan. Selain itu, kapan lagi coba kita bisa melihat seabrek bintang besar tanah air keluar dari zona nyaman mereka kemudian terlibat dalam pertarungan brutal dan bersimbah darah? Kapan lagi coba melihat trio Dian Sastro, Hannah Al Rashid, dan Julie Estelle saling berhadap-hadapan dalam pertarungan mematikan? Kesempatan itu mungkin hanya akan kau dapatkan di sini. 

#4 Milly & Mamet


Berhubung komedi yaitu sinonim dari Milly dan Mamet, maka melihat Ernest Prakasa menampilkan keduanya dalam wajah komedi bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Kejutan justru tiba ketika mareka dihadapkan pada momen manis romantis yang memperlihatkan ketangguhan chemistry serta momen emosional yang memperlihatkan range emosi dari Sissy Prescillia beserta Dennis Adhiswara. Kita ikut tersentuh, kita ikut bersedu sedan, dan kita ikut berharap semoga mereka menemukan solusi terbaik atas permasalahan yang dihadapi. Bersama mereka pula, penonton dibawa pada perenungan mengenai makna dibalik hubungan asmara yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, kerja sama, hingga komunikasi. Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) tak hanya sanggup memancing derai tawa, tetapi juga bisa memainkan emosi penonton sedemikian rupa. 

#3 Love for Sale


Love for Sale menghadapkan kita pada banyak sekali macam rasa yang tiba secara silih berganti di sepanjang durasi. Ada kejenakaan, ada rasa manis, dan ada pula rasa getir. Gading Marten dalam performa sangat mengesankan (yang mungkin tak pernah diantisipasi oleh sebagian penonton) sanggup memperlihatkan sisi ringkih dan menyedihkan dari karakter utama, Richard, yang kesepian sekaligus mendamba cinta sejati dibalik topeng tangguh yang dikenakannya. Ditunjang oleh skrip cerdik, praktis untuk terhubung kemudian mengatakan pinjaman kepadanya sebab karakter Richard yang erat dengan realita: ia bisa saja kamu, ia bisa saja orang yang kau kenal. Lebih-lebih, Gading membentuk ikatan kimia meyakinkan bersama pendatang gres Della Dartyan yang auranya memancar besar lengan berkuasa sehingga kita mafhum mengapa sosok Arini bisa membuat Richard bertekuk lutut. 

#2 Sebelum Iblis Menjemput


Sedari prolog yang menjabarkan latar belakang narasi, Sebelum Iblis Menjemput telah tancap gas. Tidak ada waktu bagi penonton untuk menyiapkan mental dan film juga tidak menghabiskan banyak waktu untuk berbasa-basi. Alhasil, kesempatan untuk menghembuskan nafas lega seketika lenyap. Teror yang digebernya terus mengalami eskalasi dari sisi ketegangan dan kegilaan di setiap menitnya. Apa yang kau anggap seram di separuh awal, bisa jadi belum ada apa-apanya dibandingkan apa yang akan kau jumpai di paruh selanjutnya. Sebelum Iblis Menjemput memang tidak memperlihatkan twist pada narasinya, tapi film ini senantiasa memberi kejutan dalam hal performa jajaran pemain dan teror. Akting trio Chelsea Islan, Pevita Pearce, dan Karina Suwandi di sini sungguh ngeri-ngeri sedap. Ini yaitu permainan lakon langka yang mungkin tidak akan lagi kau jumpai di film selanjutnya. 

#1 Teman Tapi Menikah 


Plot yang kelewat umum bisa saja membuat sebagian penonton memandangnya remeh. Akan tetapi, film ini sanggup menandakan bahwa jalinan penceritaan yang begitu sederhana dan terasa sangat familiar akan tetap menghasilkan tontonan yang meninggalkan kesan mendalam apabila menerima penanganan yang tepat. Chemistry Vanesha Prescilla dengan Adipati Dolken yaitu aset berharga yang dimiliki oleh Teman Tapi Menikah. Berkat mereka, kita bisa bersimpati kemudian mengatakan restu kepada hubungan Ayu-Ditto. Siapapun telah mengetahui bagaimana kisah mereka akan berakhir di penghujung film. Namun penampilan bagus jajaran pemain ditunjang oleh naskah berisi, pengarahan yang lancar, penyuntingan yang dinamis, tangkapan kamera yang cantik, serta iringan musik beraroma jazz yang membantu membuat nuansa romantis-menggemaskan, membuat proses menuju bersatunya Ayu-Ditto terasa sangat mengasyikkan untuk diikuti. Kita ikut tertawa, tersenyum-senyum gemas, hingga menyeka air mata haru. Jarang-jarang ada film percintaan tanah air yang penceritaannya bisa sedemikian mengalirnya. Teman Tapi Menikah terang merupakan salah satu film percintaan terbaik yang pernah dibentuk di Indonesia.

Bagaimana dengan pilihan kalian? Share yuk di kolom komentar.

0 Response to "10 Film Indonesia Terbaik 2018 Versi Cinetariz"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel