Review : Bohemian Rhapsody

 

“I love the way you move on stage. The whole room belongs to you. Don't you see what you can be?” 

Siapa sih yang tidak mengenal Queen? Kecuali kau tinggal di dalam gua dan tidak pernah sekalipun bersentuhan dengan musik sepanjang hidup, minimal kau niscaya pernah mendengar tembang-tembang ini dikumandangkan: We Are the Champions, We Will Rock You, I Want to Break Free, hingga Love of My Life. Ya, lagu-lagu tersebut digubah oleh salah satu grup musik terbesar yang pernah ada di muka bumi, Queen. Tidak hanya mempunyai koleksi lagu yang tak lekang digerus zaman, grup musik ini pun mempunyai sejarah panjang penuh lika-liku khususnya ketika bekerjasama dengan vokalisnya yang legendaris, mendiang Freddie Mercury. Ada banyak dongeng yang sanggup diutarakan, ada banyak pengalaman yang sanggup dibagikan, dan ada banyak pula pencapaian yang sanggup dirayakan. Membutuhkan lebih dari dua jam (dan lebih dari satu film dengan pendekatan berbeda) untuk sanggup merangkum perjalanan karir Queen dari A hingga Z. Itulah mengapa, proses penggarapan film biopik Queen bertajuk Bohemian Rhapsody – meminjam judul dari salah satu lagu terbesar mereka – yang telah dicetuskan sedari tahun 2010 oleh dua punggawanya yang masih tersisa, Brian May dan Roger Taylor, terus menerus terbentur oleh serangkaian perbedaan kreatif. Entah itu dari pergantian pemain dari semula Sacha Baron Cohen (kalian mengenalnya sebagai Borat), perombakan skenario, hingga divisi penyutradaraan yang bermasalah: Bryan Singer (The Usual Suspects, X-Men: Days of Future Past) hengkang di menit-menit terakhir sebelum digantikan oleh Dexter Fletcher. Jika kemudian kalian merasa bahwa Bohemian Rhapsody berakhir sebagai film biopik yang kurang memuaskan, kalian tahu darimana cikal bakalnya. 

Rentang waktu yang dipilih untuk menggulirkan narasi Bohemian Rhapsody yaitu sedari tahun 1970 hingga 1985. Kita melihat Freddie Mercury (Rami Malek) masih sebagai perjaka biasa berdarah Parsi dengan nama Farrokh Bulsara yang kurang diterima di lingkungannya alasannya yaitu beliau yaitu seorang imigran. Jalan hidupnya yang kurang baik – dipenuhi pelarian, penolakan, hingga pertikaian – berangsur-angsur mulai berubah ketika beliau bertemu dengan personil grup musik Smile, Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy), yang gres saja kehilangan vokalis. Freddie mengajukan diri untuk mengisi kekosongan personil dan ditambah dengan kehadiran basis anyar, John Deacon (Joseph Mazzello), mereka pun membentuk grup musik gres berjulukan Queen. Telah mempunyai basis penggemar yang loyal dari deretan grup musik terdahulu, gampang bagi Queen untuk menerima panggilan manggung terlebih Freddie dikaruniai vokal beserta atraksi panggung yang mengagumkan. Melimpah ruahnya panggilan dari kampus ke kampus ini nyatanya tak lantas menciptakan Freddie puas alasannya yaitu beliau menginginkan sesuatu yang lebih. Usai menjual van milik band, Freddie nekat mengajak rekan-rekannya untuk merekam sebuah album. Tanpa dinyana-nyana, proses rekaman ini menarik perhatian petinggi di EMI Records yang lantas meminang mereka dengan kontrak rekaman. Dukungan dari label besar memungkinkan bagi Queen untuk berkembang lebih jauh baik dari sisi kreativitas maupun popularitas. Menapaki pertengahan kurun 70-an, Queen tak lagi mahir kandang, melainkan telah dielu-elukan oleh para penikmat musik di aneka macam penjuru dunia. Bersamaan dengan ketenaran yang terus melambung, serangkaian dilema langsung turut mendera yang secara perlahan tapi niscaya mengancam keutuhan band.


Menonton Bohemian Rhapsody di layar lebar (jika bioskop di kotamu menayangkannya di layar terbesar, kejar!) memperlihatkan perasaan yang campur aduk selepasnya. Terpuaskan di satu sisi, kurang menemukan greget di sisi lain. Pemicu utamanya yaitu cita-cita si pembuat film untuk menceritakan semua-muanya mengenai kebesaran Queen dalam durasi yang sempit. Mengingat rentang waktu yang dicuplik oleh narasi sepanjang 15 tahun, kau tentu sanggup membayangkan sendiri ada berapa banyak konflik yang hilir pulang kampung menghampiri badan grup musik ini kan? Betul, ada banyak sekali yang ingin diceritakan oleh Bohemian Rhapsody seperti: 

- kontradiksi dengan petinggi EMI Records demi mempertahankan visi misi sebagai band 
- orientasi seksual Freddie yang meretakkan hubungannya dengan Mary Austin (Lucy Boynton) 
- toxic relationship antara Freddie dengan manajer pribadinya yang memperkeruh kehidupan personal si musisi 
- kekerabatan Freddie yang kurang serasi dengan sang ayah 
- Freddie yang merasa kesepian ditengah hiruk pikuk pesta yang dihelatnya hampir tiap malam 
- Freddie divonis mengidap AIDS 
- retaknya Queen selepas sang vokalis memperoleh proposal untuk berkarir secara solo. 

Saking banyaknya pembahasan menciptakan film tak pernah benar-benar menonjok di sektor narasi. Kita hanya mengenal sedikit mengenai Farrokh tanpa pernah tahu apa yang membentuknya menjadi Freddie si tuhan panggung, kita pun hanya sedikit diberi gosip soal Brian, Roger, dan John tanpa pernah diajak melongok sisi personal mereka. Apabila kau yaitu penggemar berat Queen atau seorang awam yang sedang mencari tahu mengenai sejarah mereka, maka apa yang dipaparkan oleh Bohemian Rhapsody tidak banyak memperlihatkan tanggapan karena hanya dipaparkan di level permukaan. Belum lagi, beberapa diantaranya tergolong fiktif (hayo tebak yang mana!) atau diadaptasi demi mengejar kepentingan dramatik. 



Tapi jikalau kau tiba ke bioskop tanpa membawa misi besar kecuali memperoleh penghiburan dan bernostalgia, Bohemian Rhapsody tidak akan membiarkanmu keluar dari bioskop dengan muka bertekuk-tekuk. Rami Malek bersinar sebagai Freddie dengan permainan gesturnya sampai-sampai kau sanggup meyakini bahwa beliau yaitu jelmaan Freddie (well, dengan catatan kau sanggup memafhumi ketidakmiripan wajah). Dia memperlihatkan kerapuhan seorang Freddie, beliau menangkap sisi flamboyannya, dan beliau pun merangkul atraksi panggungnya yang enerjik ibarat halnya nada penceritaan yang diaplikasikan oleh Bohemian Rhapsody. Meski tragis bersinonim erat dengan kehidupan si vokalis, kau akan lebih banyak mendapati humor lucu dari silang pendapat antar personil dan gegap gempita mengikuti barisan lagu Queen yang sebagian besar diantaranya bercita rasa megah nan antemik dalam film ini. Ya, film menampakkan sisi terbaiknya ketika menyoroti proses rekaman dari beberapa hits serta ketika mengajak kita naik ke atas panggung – atau dengan kata lain, tatkala tembang-tembang Queen menggema di dalam bioskop. Untuk sesaat, kau akan melupakan segala beban hidup di luar sana, kau akan memaafkan jalinan pengisahan dari film yang kurang dalam, kemudian kau pun termakan untuk ikut menghentak-hentakkan kaki seraya bersenandung “we will, we will rock you…” seakan-akan sedang berada di salah satu konser Queen. Elemen musikalnya memang tergarap sangat efektif, lebih-lebih pada momen pamungkasnya yang merekonstruksi Live Aid 1985 di Stadion Wembley, London, memakai adonan performa para aktor, footage orisinil dengan rekayasa digital. Asli, aku merinding disko dibuatnya!

Exceeds Expectations (3,5/5)

0 Response to "Review : Bohemian Rhapsody"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel