Review : Five Feet Apart
“All I want is to be with you. But I can’t.”
Saat berbicara perihal tontonan percintaan untuk kalangan bakir balig cukup akal yang mengambil jalur melodrama, satu hal yang seketika terlintas di pikiran yaitu formula penceritaannya yang kerapkali berkisar pada “cinta terhalang penyakit”. Sebuah formula yang sejatinya klasik – perkenalan pertama saya dengan topik ini dimulai dari A Walk to Remember (2001) – tapi belakangan kembali menjumpai popularitasnya berkat sambutan hangat yang diterima oleh The Fault in Our Stars (2014). Kita berkesempatan memperoleh sajian tearjerker yang apik via Me and Earl and the Dying Girl (2015) beserta Me Before You (2016), tapi ada pula yang menggoreskan kesan kurang menyenangkan ibarat Everything Everything (2017). Berhubung judul-judul tersebut ternyata menunjukan bahwa kisah cinta yang mendayu-dayu masih sangat digandrungi oleh publik, maka tentu saja sineas Hollywood pun tidak akan berhenti untuk menyuguhkannya dalam waktu bersahabat ini. Terbukti, kita lantas disuguhi Five Feet Apart yang mempertemukan “penyakit mematikan” dengan “percintaan” dalam satu forum. Melalui film yang seringkali saya sebut Pacar Lima Langkah dalam beberapa dialog bersama mitra bersahabat ini (terdengar lebih manis, bukan?), penonton tidak hanya dipertemukan dengan satu penderita penyakit mematikan saja tetapi ada tiga. Salah duanya melibatkan aksara protagonis film yang tengah dimabuk cinta sehingga mau tak mau diri ini pun seketika teringat kepada The Fault in Our Stars.
Ya, ibarat halnya film penyesuaian dari novel John Green tersebut, Five Feet Apart pun menghadirkan kisah cinta yang mengamini lirik lagu Rihanna: we found love in a hopeless place. Si aksara wanita yaitu Stella Grant (Haley Lu Richardson) yang mengidap cystic fibrosis (atau CF, sebuah penyakit yang mempengaruhi kinerja paru-paru akhir produksi lendir berlebih) sedari kecil, sementara si aksara pria yaitu Will Newman (Cole Sprouse) yang baru-baru ini terpapar CF dengan jenis bisul kuman yang berbeda. Mereka dipertemukan di sebuah rumah sakit dimana keduanya menjalani perawatan untuk mengobati penyakit masing-masing. Stella yang mengisi waktu luangnya dengan menggarap konten vlog guna menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit yang dideritanya ini mulanya abai terhadap kehadiran Will. Terlebih lagi, mereka dihentikan untuk berdekatan (jarak minimum diantara mereka yaitu enam kaki!) apalagi melaksanakan kontak fisik sebab berpotensi untuk memperburuk kondisi keduanya. Tapi segalanya perlahan mulai berubah sehabis Stella dibentuk gemas dengan sikap Will yang cenderung dingin dengan kondisinya sendiri. Stella yang mempunyai obsesi terhadap keteraturan ini pun tetapkan untuk membantu Will semoga lebih disiplin dalam mengikuti pengobatan. Will tak keberatan, hanya saja dengan satu syarat yakni Stella bersedia dilukis. Perjanjian ini disanggupi oleh Stella yang kemudian membawa keduanya pada pertemuan demi pertemuan yang secara perlahan tapi niscaya turut menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka.
Sejujurnya, saya berhasil dibuai oleh Five Feet Apart pada satu jam pertama. Mengalun secara tenang dan menempatkan latar penceritaan sepenuhnya di rumah sakit, film panjang perdana Justin Baldoni (bintang utama di serial Jane the Virgin) ini tak pernah sekalipun bermetamorfosis sebagai dongeng pengantar tidur. Kinerja apik dari tim tata artistik beserta sinematografer memungkinkan rumah sakit tampak ibarat sebuah penginapan dengan kemudahan bintang lima alih-alih terlihat kolam rumah sakit yang menguarkan nuansa menjemukan. Ditambah lagi, Five Feet Apart turut disokong oleh performa kedua pelakon utamanya yang cemerlang. Haley Lu Richardson tampil enerjik sebagai Stella yang mempunyai sikap penuh optimistis dan kerap menebar keceriaan kepada orang-orang di sekitarnya terutama dua sahabat baiknya; Poe (Moises Arias) yang juga mengidap CF dan Barb (Kimberly Hebert Gregory) yang merawatnya, sementara Cole Sprouse berlaku slengean sebagai Will yang tak pernah ragu-ragu mengambil resiko karena ia menganggap “hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan kekhawatiran”. Berhubung para aksara digambarkan mempunyai sikap positif, maka gampang bagi saya untuk membentuk ikatan emosi dengan keduanya. Ketimbang bersungut-sungut menyesali derita, keduanya menentukan untuk menghadapinya dengan kepala tegak. Saya menyukai bagaimana Five Feet Apart mencoba menghantarkan pesan pemberi keinginan mengenai bersyukur, menghargai hidup, hingga menikmati setiap hembus nafas dari interaksi dua protagonis. Terasa menghangatkan sekaligus mendamaikan hati.
Untuk sesaat, saya mengira Justin Baldoni akan patuh pada nada penceritaan yang menyuarakan optimisme dalam melantunkan Five Feet Apart. Tapi pada kenyataannya, ia menentukan untuk membelokkannya dengan sangat ekstrim ke mode melodrama yang tergolong ngoyo. Selepas beberapa adegan kencan yang tersaji manis (favorit secara langsung yaitu ketika mereka ‘bergandengan’ memakai mediator tongkat), si pembuat film tiba-tiba memutarbalikkannya melalui satu bencana yang menghenyakkan seluruh karakter. Saya sempat dibentuk berkaca-kaca olehnya dan kemunculan adegan ini pun bersama-sama tidak terelakkan demi memberi pemfokusan pada pergolakan emosi si aksara utama. Hanya saja, saya merasa sangat terganggu dengan rentetan adegan yang mengikutinya. (Tulisan selanjutnya mungkin bersifat spoiler bagi sebagaian orang) Begini, ketika kau mempunyai persoalan sangat serius dengan paru-paru, akankah kau bertindak nekat dengan berjalan kaki sejauh 3 km pada malam hari yang bersalju? Akankah kau rebahan selama beberapa ketika di atas tumpukan salju? Akankah kau bertindak tak bertanggungjawab dengan bermain-main di atas danau yang membeku padahal sudah sangat terang jikalau ini berbahaya? Apabila aksara bersangkutan bersungguh-sungguh dengan pernyataannya yang berbunyi “aku ingin hidup!”, maka kegilaan-kegilaan ini tentu tak seharusnya dilakukan. Ada banyak cara untuk mengundang air mata dan entah mengapa Five Feet Apart justru mengambil langkah yang sangat mengejek logika sehat penonton dan menciptakan kedua aksara utamanya tampak sangat kurang cerdas. Air mata yang tadinya sudah siap bercucuran pun seketika tetapkan untuk kembali ke asalnya. Memutuskan untuk menyesali keputusannya dikarenakan telah menampakkan diri. Jika saja Five Feet Apart tidak mempunyai satu jam pertama yang hangat dan manis, mungkin air mata itu benar-benar tumpah. Bukan sebab sedih, melainkan sebab membayangkan uang dan waktu yang telah terbuang sia-sia.
Acceptable (3/5)
0 Response to "Review : Five Feet Apart"
Post a Comment