Review : Makmum
“Memang ada setan yang khusus mengganggu orang sholat.”
Guys, apakah kalian pernah merasa tiba-tiba merinding dan seakan-akan ada makmum ketika sedang sholat sendirian di malam hari? Seolah-olah ada seseorang ikut sholat di belakang kita, padahal tak ada seorang pun di sekitar? Saya pernah merasakannya yang menjadikan ibadah menjadi tidak khusyuk serta mengalami kegelisahan. Jika tidak sanggup mengatasi kegelisahan ini, kadang saya membatalkannya kemudian memulai sholat kembali dengan membelakangi tembok. I know it sounds silly, but it works for me! Melihat angka penonton yang terhitung tinggi untuk film pendek aba-aba Riza Pahlevi, Makmum, di situs Youtube, saya curiga, banyak diantara khalayak yang pernah mengalami pengalaman serupa. Entah dipengaruhi faktor supranatural atau semata-mata disebabkan imajinasi yang kelewat liar karena seorang diri di rumah. Satu yang jelas, publik terkoneksi dengan apa yang dicelotehkan oleh film berdurasi 8 menit ini sampai-sampai rumah produksi Dee Company beserta Blue Water Films merasa perlu untuk mengembangkannya menjadi film layar lebar. Sang kreator tidak lagi direkrut menjadi sutradara untuk versi panjang yang sekali ini diserahkan kepada Hadrah Daeng Ratu yang sebelumnya berpengalaman menggarap dua film angker dengan kualitas bertolak belakang, Jaga Pocong (2018) dan Malam Jumat The Movie (2019). Mengingat bahan sumbernya yang serba terbatas dalam hal narasi tapi efektif membangun kengerian, satu pertanyaan lantas muncul, bisakah versi perpanjangannya ini tampil lebih baik?
Dalam Makmum edisi bioskop, penonton diperkenalkan pertama kali pada seorang perias jenazah berjulukan Rini (Titi Kamal). Oleh dua penulis skenario, Alim Sudio beserta Vidya Talisa Ariestya, Rini dibentuk mempunyai latar belakang menarik yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan arwah penasaran. Saya pun seketika diliputi keingintahuan, apa ya yang menjadikan munculnya “bakat” ini dan bagaimana signifikansinya pada pergerakan kisah? Selepas perkenalan singkat dimana Rini dikisahkan tidak sanggup membayar uang kontrakan, kita pun dibawa menuju sebuah asrama putri di tempat Sragen. Konon, di sinilah Rini sempat tinggal selama masa remajanya. Kunjungan Rini ke asmara tersebut dalam rangka memenuhi ajakan dari mantan kepala asmara yang sekarang sakit-sakitan, Bu Kinanti (Jajang C. Noer). Beliau merasa, Rini memenuhi kualifikasi untuk menggantikan Rosa (Reny Yuliana), kepala asmara gres yang luar biasa disiplin dan keras. Saking kerasnya, Rosa tidak mengizinkan tiga penghuni asrama; Nurul (Tissa Biani), Putri (Adila Fitri), dan Nisa (Bianca Hello), untuk berlibur karena nilai mereka tidak memenuhi standar. Alhasil, ketiga cukup umur ini terperangkap di asrama dimana mereka mengalami serentetan gangguan mistik setiap kali menjalankan ibadah sholat malam. Sementara Rosa menganggap gangguan tersebut sebagai bualan belaka, Rini justru tertarik untuk menyelidikinya. Dibantu oleh seorang guru agama, Ustad Ganda (Ali Syakieb), Rini beserta tiga cukup umur penghuni asrama pun berusaha menguak siapa bergotong-royong si hantu makmum yang selama ini mengusik ketenangan mereka.
Mesti diakui, Makmum mempunyai gagasan mumpuni untuk dikembangkan menjadi tontonan horor religi yang menggigit. Soal memedi yang menebar teror di ketika seseorang sedang sholat, soal memedi yang kebal dengan lafal-lafal dari kitab suci. Terlebih lagi, menyerupai sudah disinggung sebelumnya, bangunan aksara utamanya juga mengundang keingintahuan karena ia mempunyai kesadaran serta keberanian untuk menghadapi makhluk dari alam lain. Ditambah dengan adegan pembuka meyakinkan yang mereka ulang adegan dari film pendeknya yakni salah satu aksara mengalami gangguan ketika tengah menjalankan sholat tahajud, Makmum telah mengindikasikan bahwa dirinya bukanlah film angker asal-asalan. Seperti kerap dibikin oleh sang produser, Dheeraj Kalwani atau KK Dheeraj atau pendiri Dee Company. Melalui tontonan ini, Hadrah Daeng Ratu yang cukup berhasil dalam meramu Jaga Pocong menerangkan dirinya memang kompeten tentang membuat rasa ngeri. Atmosfer yang membuat bulu kuduk bergidik bisa ditemui di sini, khususnya ketika film membawa penonton menyusuri lorong, memasuki kamar, serta berada di musholla. Satu dua trik menakut-nakuti bertipe jump scares juga terbangun dengan baik tanpa harus mengandalkan iringan musik memekakkan pendengaran sampai-sampai sejumlah penonton di samping saya dibentuk terlonjak hebat dari dingklik utamanya pada adegan “mengintip lemari”. Saya eksklusif menyukai teror dalam adegan yang memperlihatkan Nurul dan Ustad Ganda sedang sholat karena melalui adegan yang lekat dengan keseharian inilah, Makmum benar-benar tampil mencekam.
Usai mengucurkan keringat masbodoh penonton pada 30 menit pertama, sayangnya Makmum tidak bisa menjaga tensi di sisa durasi yang tergolong kedodoran. Problematika terbesarnya bersumber dari skrip yang lemah dan tidak konsisten. Alih-alih menggali premis yang sejatinya berpotensi memunculkan narasi menggugah keimanan menyerupai katakanlah Munafik (2016), film justru berakhir generik dimana karakternya digambarkan mengalami teror tak berkesudahan, kemudian salah satu diantara mereka dipersenjatai benda tajam demi menghadirkan nuansa gore, dan sang villain mengedepankan motif janggal maupun “aturan main” sesuka hati. Ini terang disayangkan mengingat film tadinya telah bersusah payah untuk memberi latar berbeda bagi protagonis utama serta sempat pula menyinggung soal setan pengganggu ketika sholat. Tapi kedua hal tersebut malah dihempas begitu saja bersama dengan backstory untuk karakter-karakter pendukung yang kesemuanya hanya dijabarkan melalui satu kalimat. Ada banyak hal membingungkan di sini, termasuk pemilihan Sragen sebagai setting dan asal kota untuk tiga serangkai penghuni asmara. Apa signifikansinya? Makmum tidak pernah memberi alasan dan sehabis film memasuki babak ketiga yang mempersembahkan momen-momen “lucu”, saya pun menentukan untuk berhenti mempertanyakannya. Seperti saya berhenti memedulikan nasib para karakternya yang dimainkan seadanya oleh barisan pemain termasuk Titi Kamal yang kemampuan berlakonnya tersia-sia di sini. Satu-satunya yang terhitung baik dalam berlakon ialah Tissa Biani yang lihai dalam memberikan emosi, sekalipun penggunaan Bahasa Jawanya yang acapkali salah kaprah cukup mengganggu.
Saya pun mendengus kecewa di penghujung film. Makmum yang mempunyai kesempatan besar untuk berhasil, nyatanya terseok-seok tatkala memasuki pertengahan dan malah semakin menjadi-jadi begitu mencapai klimaks. Andai saja penceritaan tetap bertahan pada mitologi “hantu makmum” kemudian menentukan untuk memperbincangkan soal keteguhan iktikad dalam beribadah kepada Tuhan – yang sejatinya relevan dengan situasi masyarakat masa sekarang – maka bukan mustahil film akan berakhir lebih ciamik. Sayang sekali.
Acceptable (2,5/5)
0 Response to "Review : Makmum"
Post a Comment