Review : Mary Poppins Returns


“Everything is possible, even the impossible.” 

“What a lovely movie!” ialah komentar pertama yang meluncur dari lisan selepas menyaksikan Mary Poppins Returns di bioskop. Memang betul film kode Rob Marshall (Chicago, Into the Woods) ini cenderung ibarat remake dari Mary Poppins (1964) ketimbang sekuel dengan sederet adegan kentara mereplika film terdahulu, tapi pendekatan tersebut bukanlah suatu kesalahan. Para penggemar akan menghirup aroma nostalgia sementara mereka yang sama sekali absurd dengan abjad rekaan P.L. Travers ini tidak akan tersesat ketika mencoba menontonnya. Saya langsung tidak menyalahkan keputusan Walt Disney Pictures dalam menyalurkan narasi dengan cara mirip ini, toh si pembuat film sanggup melakukannya. Sanggup menangkap sisi magis dari film pertama yang kini bersatus sebagai film klasik. Jadi, apa yang harus dikeluhkan? Tidak, tidak ada. Mary Poppins Returns mengatakan salah satu pengalaman terbaik bagi saya dalam menonton film di layar lebar tahun ini. Ada begitu banyak kebahagiaan, ada begitu banyak keceriaan, dan tidak tersedia kesempatan untuk bersungut-sungut. Selama durasi mengalun yang merentang hingga 130 menit, Mary Poppins Returns mengingatkan penonton dengan pesan lawas tapi tetap relevan hingga kapanpun: jangan pernah melupakan jiwa kanak-kanakmu. Karena jiwa kanak-kanak inilah yang akan menjagamu untuk tetap berpikir dan bersikap konkret ditengah situasi dunia yang kian tak bersahabat. 

Berlatar dua dekade selepas bencana di film pertama, Mary Poppins Returns mempertemukan penonton sekali lagi dengan abang beradik, Michael Banks (Ben Whishaw) dan Jane Banks (Emily Mortimer), yang kini telah tumbuh dewasa. Keduanya menjalani kehidupan yang berbeda; Michael yang bekerja sebagai kasir di bank mendiami rumah masa kecilnya bersama ketiga anak-anaknya yakni Annabel (Pixie Davies), John (Nathanael Saleh), dan Georgie (Joel Dawson), sementara Jane yang tinggal di apartemen ialah seorang aktivis. Pada awalnya, keluarga ini tampak baik-baik saja hingga kemudian dua pengacara utusan bank mengetuk rumah Michael untuk mengabarkan tenggat pembayaran hutang. Apabila Michael gagal melunasi hingga waktu yang ditentukan, rumahnya akan seketika disita oleh bank. Tak ingin kehilangan rumah masa kecil mereka, Michael dan Jane pun bekerja sama mencari keberadaan akta kepemilikan saham di bank milik sang ayah. Tekanan dari pihak bank ini tanpa sadar membuat Michael yang masih belum sembuh dari dukanya alasannya kehilangan sang istri membuat jarak dengan ketiga anaknya. Tak ada lagi waktu untuk bermain bersama, tak ada lagi waktu untuk membuatkan cerita. Di ketika keluarga Banks lambat laun mulai terpecah, Mary Poppins (Emily Blunt) yang pernah merawat Michael dan Jane kecil tiba-tiba tiba memperlihatkan bantuan. Kehadiran Mary tidak hanya membuat Annabel dan kedua adiknya mencicipi kembali kebahagiaan yang telah direnggut dari mereka, tetapi juga membuat seluruh personil keluarga Banks menemukan lagi makna sebenarnya dari keluarga.


Ya, hati saya dilingkupi kebahagiaan tatkala menonton Mary Poppins Returns di layar lebar. Selaiknya Paddington 2 (2017) tempo hari, ini ialah sebuah film untuk seluruh anggota keluarga dengan aura sangat konkret yang sudah sangat jarang kita temui. Ini ialah feel-good movie yang kau butuhkan disaat tuntutan hidup semakin ruwet, manusia-manusia makin sering bersikap sinis antara satu dengan lain, dan apa yang tersaji di layar televisi hanya memperkeruh keadaan: program didominasi pertikaian, gosip baik makin jarang dijumpai. Dan oh, dunia maya disesaki dengan komentar-komentar jelek yang tak pernah bisa saya pahami maksud tujuannya. Life sucks, I guess? Mary Poppins Returns mengatakan alternatif tontonan eskapis yang sampaumur ini didominasi oleh superhero movies yang terkadang masih pula menyisipkan komentar sosial politik dan tentunya, adegan kekerasan dalam bentuk laga ialah jualan utamanya. Apa yang disodorkan oleh film ini tak mengandung dua hal itu (benar-benar kondusif untuk penonton cilik) alasannya mantra yang disebarkannya kepada penonton hanya tiga: kebahagiaan, kebahagiaan, dan kebahagiaan. Penonton yang kelewat sinis mungkin akan berkomentar “apaan sih” atau malah menganggapnya membosankan. Namun kalau kau tidak keberatan untuk menyaksikan dongeng fantasi yang bermain-main dengan imajinasi dimana benda-benda di rumah sanggup dijadikan daerah berpetualang (seperti kolam mandi yang bermetamorfosis menjadi lautan luas), tokoh-tokoh kartun bisa berinteraksi dengan para karakter, dan permasalahan hidup sanggup diselesaikan dengan gampang melalui nyanyi-nyanyian, tari-tarian, serta pikiran positif, Mary Poppins Returns terang untukmu. 

Mary Poppins Returns memang tidak membebani penonton dengan subteks memusingkan atau kritik sosial atau apapun itu. Film ini hanya ingin menghibur penonton cilik seraya mengajak penonton sampaumur untuk menemukan kembali jiwa kanak-kanak yang mungkin telah raib. Pada dasarnya, Mary Poppins Returns masih mengedepankan narasi kurang lebih serupa dengan sang predesesor: kepala keluarga Banks terlampau sibuk dengan pekerjaannya, bawah umur terabaikan, kemudian seorang pengasuh anak yang misterius tiba menyelamatkan. Beberapa abjad serta adegan pun merupakan hasil rekonstruksi dari film terdahulu mirip kehadiran seorang penyala lampu jalanan, Jack (Lin-Manuel Miranda), yang diposisikan mirip Bert sebagai teman baik Mary Poppins, tetangga berisik yang kerap menembakkan meriam sebagai penanda waktu, atau ketika si pengasuh ini mengajak ketiga putra Banks memasuki sebuah mangkuk bergambar yang memunculkan adegan berupa perpaduan antara animasi ukiran tangan dengan live action. Banyaknya kemiripan ini memang memberi kesan malas pada Mary Poppins Returns. Akan tetapi mengingat film ini mempunyai rentang sangat jauh dari film pertama (54 tahun euy!) dan pihak studio ingin mengenalkan si abjad tituler pada generasi muda masa kini (yang mungkin terlalu enggan menonton film lawas), pendekatan remake berbalut sekuel ialah pilihan kreatif yang masuk akal. Lagipula, bukankah kita tidak seharusnya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak? Saya pun tidak keberatan sama sekali alasannya disamping Rob Marshall bisa memberi penghormatan yang layak kepada versi terdahulu, ia pun masih sanggup membuat identitas tersendiri bagi Mary Poppins Returns sehingga label ‘sekuel malas’ terlepas secara otomatis darinya.


Disamping mempunyai petualangan mengikat yang membangkitkan semangat (adegan di mangkuk! Bak mandi! Big Ben!) beserta kenangan terhadap film-film animasi klasik buatan Disney, Mary Poppins Returns juga mempunyai narasi menghangatkan hati seputar makna keluarga termasuk bagaimana berdamai dengan kehilangan ketika salah satu anggota keluarga berpulang, sekaligus momen musikal mengasyikkan yang tersusun atas gerak tari meriah dan tembang-tembang melodius dengan pesan positif. Pesan mengenai menghilangkan prasangka, menyesuaikan perspektif dalam memandang persoalan, hingga ketersediaan solusi atas setiap permasalahan asalkan kita bersedia bersikap optimis. Tembang-tembang ini memang bukan tergolong instant classic mirip halnya Chim Chim Cher-ee atau Supercalifragilisticexpialidocious yang masih dikenang hingga sekarang, tapi beberapa diantaranya cukup sulit dienyahkan begitu saja dari benak khususnya Trip a Little Light Fantastic yang energinya membuat saya tak sanggup menahan harapan menghentak-hentakkan kaki dan The Place Where Lost Things Go yang membuat satu dua bulir air mata mengalir. Yang juga dihentikan dilupakan alasannya memegang peranan krusial dalam Mary Poppins Returns ialah barisan pemain yang masing-masing mempunyai kesempatan untuk bersinar. Ben Whishaw, Emily Mortimer, Julie Walters sebagai pelayan keluarga Banks, Colin Firth sebagai si antagonis, Meryl Streep sebagai sepupu Mary, serta Lin-Manuel Miranda memang tampil memuaskan dalam tugas masing-masing. 

Namun Emily Blunt yang menggantikan posisi Julie Andrews ialah hal terbaik yang dimiliki oleh film ini. Tak sekadar mengimitasi seniornya, ia turut mengatakan interpretasinya sendiri untuk Mary yang agak narsis, dan teramat sangat disiplin dibalik perilaku ramahnya. Ada karisma memancar dalam wajah Blunt yang sanggup menghipnotis penonton sehingga kita tanpa sadar bertingkah mirip bawah umur Banks: saya ikut tersenyum ketika ia tersenyum, saya mencicipi keteduhan pada hati ketika ia memberi pandangan menenangkan, dan saya pun refleks menunduk begitu air muka Mary memperlihatkan ketidaksukaan. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, performa dari Emily Blunt ini merupakan definisi dari magis. Satu kata yang juga saya pergunakan untuk mendeskripsikan secara singkat mirip apa Mary Poppins Returns.

Outstanding (4/5)


0 Response to "Review : Mary Poppins Returns"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel