Review : Widows


“What I’ve learned from men like your late husband and my father is, that you reap what you sow.” 

Berpatokan pada bahan promosi yang digebernya (baca: trailer), Widows memang tak ubahnya heist movie konvensional yang mengandalkan sekuens langgar beserta seni administrasi perampokan jitu penuh kecohan sebagai jualan utamanya. Mengingat seluruh abjad perempuan ditempatkan sebagai dalang utama dibalik agresi perampokan alih-alih sebatas abjad sampingan yang bertugas untuk mendistraksi, Widows pun mau tak mau mengingatkan pada Ocean’s 8 yang juga menyoroti sepak terjang sekumpulan perempuan dalam menggondol barang-barang berharga. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah kedua film ini memiliki pendekatan senada seirama sekalipun premis besarnya terdengar serupa? Calon penonton yang mengantisipasi keserupaan – lebih-lebih ada nama Liam Neeson yang identik dengan gelaran langgar meriah di jajaran pemain – mesti memahami bahwa film yang didasarkan pada novel rekaan Lynda La Plante ini (sebelumnya sempat diubahsuaikan pula dalam bentuk serial pada tahun 1983) bukanlah popcorn movie yang sanggup disantap dengan santai seraya menyeruput minuman bersoda. Keberadaan Steve McQueen di dingklik penyutradaraan sedikit banyak telah memperlihatkan instruksi bahwa Widows bukanlah spektakel pelepas penat, melainkan film sarat komentar sosial selaiknya dua film terdahulu sang sutradara, Shame (2011) dan 12 Years a Slave (2013), yang memperbincangkan perihal kemanusiaan beserta realitas sosial. 

Melalui Widows, McQueen mengenalkan penonton kepada tiga perempuan yang kehidupannya sontak berubah pasca tewasnya suami masing-masing dalam sebuah agresi perampokan yang berakhir bencana. Ketiga perempuan tersebut yaitu Veronica Rawlings (Viola Davis) yang mendadak diancam seorang politikus merangkap kepala organisasi kriminal tanggapan tindakan sang suami, Linda Perelli (Michelle Rodriguez) yang terpaksa kehilangan toko miliknya demi melunasi hutang sang suami, dan Alice Gunner (Elizabeth Debicki) yang kebingungan dalam mencari sumber penyambung hidup sehabis selama ini terlampau dimanjakan oleh suaminya yang ringan tangan. Para janda perampok ini mulanya tak saling mengenal satu sama lain, hingga kemudian Veronica yang dibayangi bahaya dari Jamal Manning (Brian Tyree Henry) memutuskan untuk menghubungi mereka. Tujuannya yaitu melanjutkan agresi sang suami, Harry Rawlings (Liam Neeson), dalam menguras brankas politikus rasis, Jack Mulligan (Colin Farrell), yang kebetulan merupakan lawan politik Jamal. Veronica akan memakai $2 juta dari total $5 juta untuk membungkam Jamal, sementara sisa uang akan dibagi rata kepada setiap personil termasuk pengasuh anak sewaan Linda, Belle (Cynthia Erivo), yang belakangan memutuskan bergabung dengan persekutuan ini sebagai driver usai menyadari perlakuan semena-mena Jack Mulligan terhadap kaum minoritas yang dimanfaatkannya untuk mendulang bunyi dalam pemilu.


Berkaca pada sinopsis di atas, tidak sulit untuk membaca gelaran ibarat apa yang dipersembahkan oleh McQueen dalam Widows. Penonton memang tetap memperoleh kejar mengejar di jalan raya atau agresi perampokan yang menghadirkan sensasi berdebar-debar (ya, bisa dibilang ini yaitu film rekaan McQueen yang paling accessible bagi penonton umum) ibarat kerap dijumpai di heist movie dengan topangan skoring musik efektif dari Hans Zimmer, tapi film tidak sebatas memperlihatkan kumpulan sekuens berupa penyusunan seni administrasi rumit yang bikin menganga dan sulit diterka kelokannya kalau itu yang kau harapkan dari film ini. Malah, agresi perampokannya terbilang eksklusif pada target ketimbang berumit-rumit ria: kecoh security, dobrak masuk ke lokasi, tuang seluruh uang incaran ke dalam karung, kemudian pergi meninggalkan lokasi. Sesederhana itu. Yang tidak sederhana dari Widows yaitu guliran pengisahannya yang dirangkai oleh sang sutradara bersama Gillian Flynn yang lebih dulu dikenal sebagai penulis novel misteri ibarat Sharp Objects (2006), Dark Places (2009), dan Gone Girl (2012) – kesemuanya telah diubahsuaikan dalam bentuk film maupun miniseri. Disamping melanjutkan tradisi si pembuat film untuk melontarkan komentar sosial yang sekali ini berkenaan dengan situasi yang tengah hangat di Amerika Serikat ibarat rasisme, seksisme, kancah politik, hingga penggunaan senjata, film turut menyelami konflik yang mendera para janda sekaligus membubuhinya dengan elemen misteri demi menambat atensi penonton. 

Jika bicara soal atensi yang tertambat, Widows sebenarnya telah melakukannya dengan baik sedari awal mula. Sedari adegan pembuka berintensitas tinggi yang menggambarkan kekacauan dibalik agresi perampokan yang dilakukan oleh Harry beserta kawanannya. Kekacauan berujung tewasnya setiap personil yang seketika menghadapkan para istri pada penderitaan. Pada titik dimana penonton diajak memasuki kehidupan para janda, laju pengisahan Widows secara perlahan tapi niscaya mulai melambat dan mengaplikasikan mode kontemplatif. Terdengar membosankan memang, namun penulisan naskah yang cemerlang dengan pembentukan karakteristik berpengaruh untuk setiap abjad (bahkan pendukung sekalipun!) memungkinkan kita untuk tetap memperlihatkan ketertarikan di setiap menitnya. Memungkinkan kita untuk tetap fokus alasannya yaitu McQueen mengungkap segalanya dengan teknik bertahap. Baik dikala mengungkap belakang layar dibalik kegagalan misi perampokan yang mengandung kelokan tak terduga di dalamnya, atau dikala mengungkap problem yang merongrong para karakter. Kita tidak mengetahui kebenarannya hanya dalam sekejap melainkan setapak demi setapak seiring berjalannya durasi. Yang juga menarik, kita sebagai penonton tidak semata-mata diminta untuk mengobservasi para abjad inti ibarat Veronica, Linda, serta Alice dikala mereka berupaya untuk berdamai dengan kehilangan kemudian berjuang untuk bangkit. Tetapi kita diminta pula untuk bisa memahami mereka. Merasakan sakit yang mereka rasakan. Ada upaya untuk membentuk afeksi antara penonton dengan abjad sehingga kepedulian sanggup tersemat dan emosi sanggup terbentuk. 


Saat bersama Veronica yang dilakonkan dengan sangat cemerlang oleh Viola Davis (meski tak terlalu mengejutkan alasannya yaitu kiprah depresif ibarat ini merupakan taman bermainnya), muncul rasa sepi, sesak, dan amarah. Oleh rekan-rekannya, beliau dipandang sebagai sosok yang masbodoh dan keras tanpa pernah menyadari bahwa perilaku tak bersahabatnya ini merupakan bentuk pertahanan diri tanggapan sedih serta terenggutnya kepercayaan. Berhubung penonton telah mengetahui apa yang dilalui oleh Veronica, tak ada penghakiman untuknya. Kita justru bersimpati padanya, ibarat kita bersimpati pada Alice. Elizabeth Debicki memperlihatkan performa paling mencuri perhatian di sini (dan beliau juga membawakan humor yang jarang ada) sebagai seorang perempuan yang acapkali dipandang remeh oleh orang-orang di sekitarnya: suaminya yang tukang pukul, ibunya yang menggadaikannya, serta si sugar daddy yang menilai segalanya dari materi. Saat Alice kesudahannya memutuskan untuk bergabung dengan Veronica, karakternya bertransformasi secara meyakinkan dari perempuan ringkih yang senantiasa membutuhkan sokongan menjadi perempuan yang bisa menyuarakan pilihannya sendiri. Keterampilan Davis dan Debicki dalam berolah kiprah dalam Widows juga ditunjang oleh Daniel Kaluuya sebagai saudara Jamal yang bengisnya minta ampun dibalik tampilan kalemnya (serius, beliau mengerikan!), Michelle Rodriguez yang menerangkan bahwa beliau sanggup menundukkan kiprah dramatis, Cynthia Erivo yang sekali lagi bermain solid selepas Bad Times at the El Royale tempo hari, serta Colin Farrell yang wibawanya menutupi peringainya sebagai politikus culas. Barisan pemain ansambel ini bisa menghadirkan akting yang memuaskan untuk sebuah heist movie sarat komentar sosial yang tak saja menohok dan menyesakkan dada, tetapi juga memuaskan.

Outstanding (4/5)


0 Response to "Review : Widows"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel